Melawan Hegemoni Kekuasaan Dengan Gerakan Nasional #2019GantiPresiden
netizennow.Michel Foucault seorang filsuf Perancis kelahiran 1926, yang ajek
pada pemikiran sejarah kritis modernitas mengampu sebuah teori yang
berbunyi, ‘kekuasaan tidak bekerja melalui represi, negatif, struktur
yang menindas melainkan ia hadir melalui peraturan, regulasi, norma yang
tidak memaksa melalui fisik’.
Berbanding-terbalik dengan teori Foucault. Jumat 4 Mei 2018 sekitar pukul 14.00 WIB, markas DPC Partai Gerindra Kota Semarang Jawa Tengah secara tiba-tiba tanpa koordinasi sebelumnya dengan pimpinan partai setempat di geruduk pasukan Brimob lengkap dengan senjata dan berdalih ‘patroli menjelang pilkada’ [https://m.cnnindonesia.com/…/brimob-datangi-kantor-gerindra…].
Cerita yang hampir serupa, di Kota Medan, sepasukan aparat kepolisian menghadang peserta Car Free Day yang menggunakan kaos #2019GantiPresiden. Bahkan tersebar di sosial media surat Walikota Medan kepada Kasatpol PP untuk segera melakukan penanganan terhadap Gerakan #2019GantiPresiden. Jika benar demikian, tindakan penguasa semacam ini sudah keterlaluan dan sangat berlebihan. Sebenarnya, tindakan over-acting demikian sudah bisa diterka sejak ‘drama persekusi’ mulai terbongkar dan gagal meredam Gerakan #2019GantiPresiden.
Melalui konsep hegemoni, Antonio Gramsci, filsuf Italia yang pernah merasakan kejamnya penjara rezim Fasis Benito Mussolini, pernah beragumentasi bahwa kekuasaan agar dapat abadi dan langgeng membutuhkan paling tidak dua perangkat kerja. Pertama, adalah perangkat kerja yang mampu melakukan tindak kekerasan yang bersifat memaksa. Perangkat kerja yang pertama ini biasanya dilakukan oleh pranata negara melalui lembaga-lembaga seperti hukum, militer, polisi dan bahkan penjara.
Kedua, adalah perangkat kerja yang mampu membujuk masyarakat beserta pranata-pranata untuk taat pada mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian dan bahkan juga keluarga.
Pada akhirnya, Gerakan #2019GantiPresiden dengan seluruh muatan-muatan programatiknya, jika bekerja secara konsisten, tentu akan menjadi kekuatan alternatif atas berjalannya hegemoni penguasa.
Setidaknya hegemoni atas praktik neoliberalisme yang semakin ugal-ugalan. Neoliberalisme yang meluas harus di lawan pula dengan gerakan yang menasional. Tak cukup hanya di Jakarta. Gerakan #2019GantiPresiden berskala nasional menjadi kebutuhan mendesak. Tak bisa ditawar.
Sebagai penutup saya akan mengutip tulisan Gramsci, “suatu kelompok sosial bisa bahkan harus menjalankan kepemimpinan sebelum merebut kekuasaan pemerintahan [hal ini jelas merupakan salah satu syarat utama untuk memperoleh kekuasaan tersebut]; kesiapan itu pada gilirannya menjadi sangat penting ketika kelompok itu menjalankan kekuasaan…..mereka harus tetap ‘memimpin’.”
Berbanding-terbalik dengan teori Foucault. Jumat 4 Mei 2018 sekitar pukul 14.00 WIB, markas DPC Partai Gerindra Kota Semarang Jawa Tengah secara tiba-tiba tanpa koordinasi sebelumnya dengan pimpinan partai setempat di geruduk pasukan Brimob lengkap dengan senjata dan berdalih ‘patroli menjelang pilkada’ [https://m.cnnindonesia.com/…/brimob-datangi-kantor-gerindra…].
Cerita yang hampir serupa, di Kota Medan, sepasukan aparat kepolisian menghadang peserta Car Free Day yang menggunakan kaos #2019GantiPresiden. Bahkan tersebar di sosial media surat Walikota Medan kepada Kasatpol PP untuk segera melakukan penanganan terhadap Gerakan #2019GantiPresiden. Jika benar demikian, tindakan penguasa semacam ini sudah keterlaluan dan sangat berlebihan. Sebenarnya, tindakan over-acting demikian sudah bisa diterka sejak ‘drama persekusi’ mulai terbongkar dan gagal meredam Gerakan #2019GantiPresiden.
Melalui konsep hegemoni, Antonio Gramsci, filsuf Italia yang pernah merasakan kejamnya penjara rezim Fasis Benito Mussolini, pernah beragumentasi bahwa kekuasaan agar dapat abadi dan langgeng membutuhkan paling tidak dua perangkat kerja. Pertama, adalah perangkat kerja yang mampu melakukan tindak kekerasan yang bersifat memaksa. Perangkat kerja yang pertama ini biasanya dilakukan oleh pranata negara melalui lembaga-lembaga seperti hukum, militer, polisi dan bahkan penjara.
Kedua, adalah perangkat kerja yang mampu membujuk masyarakat beserta pranata-pranata untuk taat pada mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian dan bahkan juga keluarga.
Pada akhirnya, Gerakan #2019GantiPresiden dengan seluruh muatan-muatan programatiknya, jika bekerja secara konsisten, tentu akan menjadi kekuatan alternatif atas berjalannya hegemoni penguasa.
Setidaknya hegemoni atas praktik neoliberalisme yang semakin ugal-ugalan. Neoliberalisme yang meluas harus di lawan pula dengan gerakan yang menasional. Tak cukup hanya di Jakarta. Gerakan #2019GantiPresiden berskala nasional menjadi kebutuhan mendesak. Tak bisa ditawar.
Sebagai penutup saya akan mengutip tulisan Gramsci, “suatu kelompok sosial bisa bahkan harus menjalankan kepemimpinan sebelum merebut kekuasaan pemerintahan [hal ini jelas merupakan salah satu syarat utama untuk memperoleh kekuasaan tersebut]; kesiapan itu pada gilirannya menjadi sangat penting ketika kelompok itu menjalankan kekuasaan…..mereka harus tetap ‘memimpin’.”
Comments
Post a Comment